Sabtu, 01 Desember 2018

Merasa Tak berguna

Selamat malam sobat blogger.. Bulan Desember selalu menjadi penanda bahwa tahun ini akan segera berganti. Jika saya lihat kembali, 2018 saya banyak hancurnya daripada baiknya. Dan orang yang paling sering saya sakiti adalah diri saya sendiri. Saat saya gagal, saya pernah berteriak, Dasar manusia tidak berguna! Saat orang-orang di lingkungan sosial terdengar mulai membicarakan saya karena saya memilih jalan yang berbeda yaitu Gap Year, saya malah menyalahkan diri sendiri. Bukan malah bergegas memeluknya. Seolah-olah jalan yang saya pilih ini adalah sebuah kesalahan.

useless.jpeg


Hal seperti ini bisa dianalogikan seperti orang tua yang sangat kejam nan perfeksionis. Coba bayangkan saja, setelah anaknya mati-matian belajar siang dan malam, ketika nilai ujian keluar, dan nilai si anak ini tidak sesuai harapan (baca: sangat rendah) , bukannya malah memeluk anaknya, si orang tua ini dengan kejam berteriak, Dasar anak gobl*k! Dasar anak tidak berguna! Mati aja lu bangs*t! Kemudian dengan santainya mereka pergi meninggalkan si anak, tanpa pernah melihat perjuangan yang telah anak ini lakukan.

Sakit tapi tak berdarah. Itu adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan betapa tersiksanya saya berada dalam kondisi seperti ini. Dan itu semua terjadi pada diri saya. Mungkin karena belum menerima sepenuhnya segala tragedi yang telah terjadi, saya jadi sangat kejam pada diri sendiri. Saya selalu membayangkan kondisi ideal yang seharusnya terjadi jika saya mengambil keputusan yang berbeda saat dihadapkan pada sebuah pilihan. Mulai dari urusan sekolah, pertemanan sampai urusan keluarga. Saya terlalu jauh memikirkan itu semua. Sampai-sampai terkadang saya tidak peduli dengan hal yang seharusnya saya perhatikan, yaitu diri sendiri. Padahal jiwa dan raga saya juga butuh perhatian. Tapi, saya juga masih bingung bagaimana cara memberikan asupan energi positif untuk diri ini. Alih-alih menghargainya segala usaha yang telah saya lakukan, saya malah terkadang mentitik fokuskan pada hasil.

Itulah barangkali sekelumit kegelisahan selama enam bulan pertama saya menjalani Gap Year. Memang awalnya sih saya pede menjalani pilihan ini, tapi setelah beberapa bulan kemudian saya pun termenung meratapi nasib. Diri ini benar-benar tak bisa membohongi perasaan. Saya mulai kecewa terhadap diri saya sendiri. Saya masih terus mencari solusi gimana caranya melakukan pembiasaan terhadap situasi meresahkan seperti sekarang ini terjadi agar tak mengganggu kegiatan belajar saya untuk persiapan SBMPTN. Namun sampai sekarang saya belum menemukan jalan keluarnya. Saya berharap ini tidak berlangsung lama, karena ini sangatlah mengganggu.


Read More

Rabu, 21 November 2018

SENDIRI

Terkadang seseorang butuh sendiri untuk beberapa saat. Di saat semua hal yang diinginkan belum ada satu pun yang menjadi kenyataan. Banyak orang bilang di balik cobaan selalu ada hikmah. Namun sampai sekarang saya belum menemukan hikmah dari peristiwa paling menyakitkan dalam hidup saya ini. Membuat diri saya menjadi stres. Sungguh tak mengenakkan.



Hidup di era digital, dengan segala kemudahannya, telah menyebabkan meningkatnya isolasi sosial yang tajam dalam hidup saya. Saya jadi tak bisa merasakan kembali nikmatnya berbagi cerita dengan sesama manusia. Kadang saat saya ingin bercerita tentang kondisi yang saya jalani begitu berat sama seseorang, kebanyakan malah pada bilang, Masih banyak masalah yang lebih berat dari apa yang lo rasain sekarang, seharusnya lo lebih bersyukur! Hal seperti inilah yang bikin saya lebih milih memendam apa yang saya rasakan daripada harus bercerita. Sekalipun harus dikeluarkan dari kepala, saya memilih blog ini sebagai pelarian bercerita daripada ke manusia.

Suasana ramai di sekitar saya tak sanggup mengusir kesunyian hati. Perkataan yang keluar dari mulut-mulut orang yang mencintai saya tak sanggup membakar semangat jiwa ini. Ajakan mereka untuk bergembira dan memaksimalkan hidup yang cuma sekali ini dengan berbagai kebaikan tak dapat memotivasi diri saya. Hiburan yang mereka berikan belum bisa menghapus kepedihan luka yang masih terasa. Mereka tak pernah tau apa yang telah terjadi terhadap diri saya sampai-sampai saya harus mengisi hari-hari dengan rasa sakit lagi dan lagi. Rasanya saya belum mampu untuk menceritakan kebenaran yang sesungguhnya.




Saya pikir, selepas SMK saya akan meninggalkan dunia ini. Tapi nyatanya, saya masih hidup sampai sekarang. Setiap hari, saya berpikir apakah hari ini saya akan mati? Mungkin karena itu pula, saya tidak punya impian yang benar-benar ingin diraih. Saat ini, teman saya di saat sendiri hanyalah luka yang masih basah. Saya kesakitan, dan tak sadarkan diri begitu saya lihat seberapa besar lukanya. Pedihnya tertancap hingga ke dalam jiwa. Tangis sertai air mata terus membasahi hati. Kalau dipikirkan lebih jauh, saya merasa seluruh isi bumi berkonspirasi untuk menjatuhkan dan melukai saya. Membuat saya terkadang merasa tidak nyaman lagi dengan hidup ini. Saya menderita, depresi, dan cemas. Seperti sudah tak ada energi untuk menjalankan hidup. Rasanya saya tak ingin bermimpi tuk sementara waktu. Karena mimpi-mimpi saya saat ini tak membuat diri ini menjadi tenang.

Jangankan untuk bermimpi, untuk sekedar menikmati matahari terbit saja saya tak mampu. Saya terlalu sibuk. Sibuk berperang dengan musuh sejati, sibuk beradaptasi pasca kelulusan sekolah, dan sibuk membantu orang tua. Dari semua kesibukan tersebut membuat diri saya makin tenggelam. ketika kesibukan itu berakhir, meninggalkan rasa hampa dalam sepi yang memaksa saya untuk mencari kesibukan lain. Begitu terus siklusnya sampai-sampai ada hal penting yang terlupakan oleh saya, yaitu belajar untuk persiapan menghadapi test masuk perguruan tinggi dengan giat. Ini adalah misi utama saya saat memutuskan untuk gap year lima bulan yang lalu.

Emangnya gak ada hari libur? Libur sih ada.. Tapi yaa gimana ya.. Entahlah.. Saya rasa ini antara males atau otak saya yang sudah mengatur demikian. Saat hari libur tiba, saya paling tidak bisa belajar di hari tersebut karena saya menggunakannya untuk meliburkan pikiran saya. Saya yakin otak ini tak henti-hentinya bekerja keras setiap hari setiap saat hingga overthinking. Menyalahkan keadaan yang rumit bahwa saya tidak dapat merasakan nikmatnya hidup. Meskipun saya udah punya niat belajar, tapi pasti ujung-ujungnya nggak tersentuh juga materi SBMPTN sama saya. Yaa.. Tidak masalah juga sebenarnya, selama libur kemarin saja saya tidak belajar sama sekali untuk materi SBMPTN karena saya sibuk untuk melakukan aktivitas yang lain, jadi saya terkadang tidak peduli sama sekali tentang perkuliahan. Saya ingin belajar tapi tidak bisa belajar jika bukan waktunya. Walaupun sudah ada arahan dari bapak tercinta, tapi rasanya saya belum punya semangat lebih dalam menjalankan tujuan tersebut. Masih setengah-setengah dalam menjalankan kewajiban belajar. Bisa dibilang saya belajar ketika saya mood dan waktunya pas untuk menyerap ilmu baru. Padahal kalau dipikir-pikir, sudah tinggal hitungan bulan UTBK SBMPTN akan segera dilaksanakan kembali. Hmm..




Satu hal yang saya butuhkan saat ini adalah tempat untuk menyendiri, dimana saya bisa terbebas dari tekanan-tekanan itu, untuk dapat lebih bisa merasakan rasa bersyukur atas kehidupan yang saya miliki. Saya sangat membutuhkan umpan balik dari alam semesta agar saya dapat berkembang menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Read More

Rabu, 07 November 2018

Racun Dunia

Saya pernah berkata bahwa kita harus pandai bersyukur atas segala hal yang telah diberikan Tuhan. Barangsiapa yang bersyukur maka nikmatnya akan ditambah, begitu lah firman-Nya. Namun apa boleh buat, saya hanyalah manusia biasa yang lemah dan kekanak-kanakan. Masih jauh dari kata sholeh dan dewasa. Saya tak bisa setiap saat memiliki pikiran positif, ada kalanya pikiran saya dipenuhi awan hitam. Seperti saat ini, suasana hati saya sedang kacau dan memaksa diri ini untuk terus mencari-cari kesalahan di masa lalu. Akhir-akhir ini saya sering mengeluh daripada mensyukuri segala kasih sayang Tuhan. Tapi ini bukan tanpa alasan, ada hal yang mendasari saya untuk terus bergumul dengan diri sendiri dan belum bisa sepenuhnya bersyukur. Kenapa saya bisa seperti itu? Mari saya saya jelaskan lebih dalam..

Jadi begini ceritanya..

Dalam tiga tahun yang luar biasa kemarin, ada satu hal yang terasa sangat berguna bagi saya. Sekarang saya mempunyai pandangan yang lebih baik dalam menjalin komunikasi, khususnya terhadap perempuan. Saking baiknya, malah membuat saya merasa sangat sedih. Sedih karena telah mengetahui kenyataan bahwa banyak sekali perempuan yang  yang sifatnya sangat beragam. Bahkan bukan hanya perempuan, tapi manusia pada umumnya.

Di masa putih abu-abu saya, tingkat persaingan untuk mencapai peringkat itu sangat tinggi. Semua teman berlomba-lomba untuk menjadi orang yang bisa menguasai suatu materi demi sebuah nilai. Tak ada yang persatuan dan kesatuan selama saya SMK. Semua sibuk dengan komunitasnya sendiri. Yang pintar makin pintar, yang bodoh makin bodoh. Padahal berkompetisi memang bisa dipandang sebagai suatu hal positif, yaitu sebagai pemicu semangat. Tetapi ada kalanya hal ini menjadi duri dalam menjalin hubungan pertemanan.

Teman yang terlihat begitu suportif dan responsif, tetapi di sisi lain, mereka tampak sangat kejam. Mereka bisa menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang diinginkan —dalam kasus ini berarti untuk mendapatkan nilai. Singkatnya yaitu persaingan yang tidak sehat. Dampaknya terhadap saya adalah banyak teman yang meremehkan kemampuan saya, bahkan mencibir tindakan yang saya pilih. Saya jadi tidak bebas untuk berekspresi. Ditambah lagi, ada teman yang sering mengejek dan mempermainkan saya. Saya kira mereka tak punya hati kali ya? Seenaknya aja melakukan hal ini dan itu kepada orang lain. Hm.. Bertambah ancur lah kisah hidup saya saat itu.

Namun harus saya akui, dalam beberapa kesempatan saya masih sering membuat penilaian yang keliru. Orang yang selama ini saya anggap teman baik, sangat baik, bahkan terlalu baik malah menjadi orang yang selalu membuat saya jalan di tempat. Dalam artian bahwa saya tidak dapat berkembang. Terjebak di situ-situ aja. Mereka datang ke saya jika ada butuhnya. Jika tak ada kepentingan, yaa saya diabaikan begitu saja. Ujung-ujungnya saya harus sendiri lagi dalam waktu yang cukup lama.


Selain itu, ada lagi sifat yang sangat mengganggu saya dalam menjalani rutinitas sehari-hari. Yaitu sifat perfeksionis. Sifat yang baru saja saya sadari setelah lama bersemayam di dalam diri. Ternyata hal yang paling saya takutkan itu terjadi juga. Saya tertular suatu sifat yang melekat pada monster biadab orang yang telah menginjak-injak harga diri saya beberapa waktu yang lalu. Kondisi dimana saya selalu menginginkan kesempurnaan dalam setiap hal. Sifat ini sangat mengganggu saya dalam menjalani rutinitas sehari-hari. Misalnya saat saya sedang beres-beres kamar, saya harus memastikan dengan baik semua sudut kamar sudah bersih, kalau belum saya akan terus beres-beres sampai semuanya itu terlihat rapih dan indah. Lalu ketika saya ingin belajar, kalau saya mencari buku pelajaran dan alat tulis tapi gak ketemu-temu juga, akhirnya saya gak jadi belajar. Karena itu sudah merusak mood belajar saya. Jadi buku pelajaran materi SBMPTN dan alat tulis itu harus ada semua di satu meja. Sungguh menyebalkan. 


Kalau tau akan mendapatkan sifat seperti ini, mungkin saya tak akan pernah mau 'berteman' dengan dia. Seperti halnya virus, sifat ini dapat menyebar jika terlalu lama berinteraksi dengan pemilik sifat tersebut. Saya ingin sekali memotong rantainya! Namun apa daya, yang terjadi malah sebaliknya, saya terus melanjutkan polanya. Saya menjadi pribadi yang selalu menginginkan kesempurnaan. Saya muak menyerupai orang yang paling saya benci!

Sampai sekarang rasa penyesalan ini akan terus mendarah daging. Rasanya seperti melukai diri dan terus melukai diri. Ibarat pohon, setegar apa pun dia berdiri kalau masih dihinggapi oleh parasit, maka dia hanya akan menunggu waktu untuk roboh dan mati. Begitu pun dengan hati manusia setegar apa pun dia, jika ia terus mendapat tekanan di sekelilingnya, maka bukan tidak mungkin dia akan rapuh dan hancur. Tekanan tersebut berasal dari sifat yang telah tertular dari monster terkutuk  tersebut. Ingin sekali menghilangkan sifat perfeksionis ini. Tapi saya belum mampu. Lelah rasanya saya mengatasi segala ketidakberdayaan diri sendiri.

racun-dunia.jpeg


Sering kali saya mendengar bahwa 'wanita adalah racun dunia'. Sudut pandang yang melahirkan konsep bahwa wanita adalah sesuatu yang dapat memberikan dampak buruk pada siapa pun. Namun bagi saya, orang-orang yang seperti saya jelaskan di atas adalah sebenar-benarnya racun dunia. Mereka benar-benar menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia. Memberikan dampak yang buruk bagi siapa pun yang pernah mengenalinya. Berdasarkan pengalaman saya ini, saya jadi ingin berbagi hal yang saya kira perlu untuk diketahui oleh khalayak ramai. 

Pergaulan kalian bisa jadi beracun jika:

  • Gaya bicaramu jadi tak sopan.
  • Uangmu cepat habis pas sama mereka.
  • Kamu jadi memiliki sifat buruk yang sama dengan mereka.
  • Kamu sering ditindas secara psikologis pas sama mereka.

Itulah yang sering saya rasakan. Ternyata, Lingkaran pertemanan yang sudah beracun itu berbahaya. kalau ada yang berubah dalam lingkaran tersebut, diri sendiri yang akan kehilangan arah. Memang dekat itu perlu, tapi jangan terlalu erat. Jalani saja tanpa harus sejalan dengan mereka. Karena pada akhirnya kita akan sendiri-sendiri juga seiring berjalannya waktu.

Memang tidak semua teman sekolah saya sifatnya seperti itu, tapi memang ada beberapa teman yang seperti itu. Tak perlu menyebutkan namanya, saya rasa tidak penting juga merusak nama baik orang. Yang ingin saya tekankan di sini adalah kita harus berhati-hati dengan orang yang seperti tadi saya jelaskan. Mereka layaknya racun yang dapat merusak pola pikir manusia. Mereka bisa menyerap energi pada tubuh seseorang. Dan jika sudah tertular sifat-sifat buruk dari racun dunia tersebut, bukan tidak mungkin kita akan menjadi racun selanjutnya. Amit-amit dah.. Naudzubillahi min dzalik.. Mudah-mudahan, dengan mengetahui lebih banyak sifat-sifat buruk manusia, tidak membuat saya bosan untuk belajar dan berteman dengan sesama manusia. Aamiin..


Read More