Minggu, 17 Mei 2015

Di akhir dilema

30 menit sudah Abidin duduk di bangku kelasnya. Mendengar pengumuman dari gurunya tentang tur perpisahan. "... dan sekali lagi, acara ini tidak wajib untuk diikuti." tutup gurunya. Abidin menarik nafas sejenak, dan membuangnya seketika. Batinnya masih labil ketika ia harus memilih ikut atau tidak dalam acara tur perpisahan sekolah. Sedangkan ia tidak punya dana yang cukup. Ia masih teringat peristiwa tak terlupakan satu tahun lalu saat sebagian uangnya harus dikorbankan untuk study tour.

Masih berkerumunan dengan banyak orang, untuk alasan yang bisa di mengerti. Sebuah rincian tour perpisahan telah terpampang di mading kelasnya.

"Masa cuma ke kawah putih doang sampe 460? ga bisa lebih murah apa?" bentaknya dalam hati.

Abidin merasa dilema apakah harus ikut apa tidak. Apakah ia harus mengambil sebagian uang tabungannya lagi yang selama ini dikumpulkan untuk membeli motor. Ia tidak terbiasa mengalami hal seperti ini, dan ia punya prinsip seminimal mungkin tidak menyusahkan orang tuanya, yang hanya bekerja sebagai buruh serabutan.

"Sudahlah Din, jangan terlalu dipikirin. Inikan cuma masalah tur." sambar Dinda, sahabat dekat Abidin.
"Kamu tau dari mana aku lagi mikirin tur?" tanya Abidin sambil menatap Dinda.
"Dari Adi, aku udah denger semua keluhan mu tentang tur. Lagipula, sejak awal Pak Agung menjelaskan masalah tur perpisahan, aku melihat dari raut wajahmu kau tampak bingung dan cemas." lanjut Dinda dengan yakin.
"Hmm.. Aku hanya lelah kalau aku harus mulai dari awal lagi. Aku tidak punya cukup dana untuk ikut." dengan nada datar.
"..." Dinda hanya terdiam. Dengan wajah yang bertanya-tanya.

***



Beberapa hari kemudian, Dinda menyempatkan diri menemui Syifa di kelas sebelah yang ahli dalam menemukan solusi. "Syif, kamu dah tau kalo Si Abidin ga ikut tur?" tanya Dinda.
"Belum. emang kenapa? Dia beneran ga jadi ikut?" jawab Syifa.
"Katanya, dia lagi kekurangan dana, jadi ga bisa ikut. Sebagai seorang sahabat yang solid, karna tur perpisahan ini kan cuma sekali, aku ingin sekali membantunya. Tapi, ya gitu deh.. Aku ga bisa bantu seutuhnya, aku butuh dana patungan. Gimana, apakah kamu setuju?"
"Emangnya kenapa dia ga punya cukup uang?" Tanya Syifa, dengan nada heran.
"Katanya sih, dia lelah kalau harus mulai dari awal lagi. Sepertinya dia ingin membeli sesuatu yang sudah lama dinanti. Kita kan tau sendiri, dia itu orangnya sederhana dan mandiri. Tidak segan memberi uang ke temannya yang sedang kesusahan. Pantas saja ia bisa menjabat sebagai ketua OSIS tahun lalu." Jelas si Dinda panjang lebar.
"Baiklah, aku akan membantu mu. Menurutku dana patungan itu boleh saja. Tapi jangan sampai ketauan, takutnya nanti ia merasa ga enak." jawab Syifa dengan halus.

***



Disaat temannya sedang merencanakan sesuatu, Abidin masih tetap pada pendiriannya tidak mau ikut. Setiap ada gurunya bertanya, ia selalu menjawab "ga papa bu, saya cuma ingin berhemat untuk nerusin ke SMA nanti." Terus terang Abidin merasakan ketidaknyamanan. Reputasi, citra, dan eksistensinya sebagai mantan ketua OSIS akan rusak. Ia hanya bisa bertawakal kepada Sang Pencipta agar di mudah kan urusannya.

Saat melawan rasa ketidaknyamanan tersebut. Menjelang hari H, Sepulang sekolah.
"Abidiiin....." Teriak Adi dari kejauhan mendekati Abidin.
"Lu ga perlu khawatir lagi tentang tur perpisahan. Kata panitia nya, lu udah dipastikan ikut." ucap Adi sangat bersemangat.
"Masa sih, yang bener lu?" Abidin mencoba menyakinkan.
"Iyaa.." jawab Adi.

Setelah kejadian itu Abidin merasa senang sekaligus bingung. Ia merenung dan memikirkan, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini sebuah konspirasi temannya agar ia bisa ikut karena ini merupakan momen sekali seumur hidup, atau gimana? Ia mencoba mengingat hal yang tlah dilakukan sampai dapat keajaiban seperti ini. Beberapa menit kemudian, ia teringat saat di perjalanan pulang sehabis sekolah, ia menyempatkan diri untuk berhenti di warung tuk beli minuman, setelah itu ia melihat kakek tua renta dgn di emperan warung tersebut. "sepertinya, Kakek ini kelaparan." gumam nya dalam hati. Lalu Abidin pun menghampiri kakek tersebut.

"Lagi ngapain Kek, sendirian aja." Abidin memulai.
"Lagi istirahat sebentar" jawab kakek itu sambil memegangi perut.
"Kakek udah makan?" Tanya Abidin.
"Belum, udah dua hari belum makan."

Abidin kemudian terus menanyakan tinggal dimana, punya anak berapa, dan sebagainya. Lalu Abidin memberikan dia sedekah 30 rupiah. Dan pergi meninggalkan Kakek tua tersebut.

"Makasih ya nak, semoga Allah membalas kebaikan kamu dan menjadikan kamu orang yang beruntung di antara orang-orang yang beruntung."
"Ya kek, saya pergi dulu yaa.." Abidin pun pergi melanjutkan perjalanan pulang naik motor meninggalkan Kakek tua itu.

Dari situ Abidin baru teringat lagi, mungkin karena ini dia bisa ikut tur perpisahan. Akhirnya Abidin pun bisa ikut tur perpisahan tanpa harus membayar alias gratis.

***


Hari Selasa pun tiba, tur pun dilaksanakan. Rombongan pun berangkat dan tiba di tujuan. Melakukan aktivitas yang sudah di jadwalkan, Dinda tampak senang bukan main, karena akhirnya Abidin bisa ikut tur perpisahan yang hanya sekali seumur hidup. Hingga malam pun tiba, rombongan tur menginap di villa yang sejak awal sudah di booking. Malam itu acara puncak tur ini, berbagi rasa, canda dan tawa bersama.

Lalu Abidin diberikan waktu untuk menutup acara puncak tersebut. "... Entah sampai bertahan. Saat seperti ini mungkin tak akan pernah kembali, Maka nikmatilah tur ini. Saat esok hari menjelang, maka biarkan hari ini menjadi kenangan. Terimakasih semuanya." Dengan nada yang menggelegar Abidin menutupnya dengan penuh penghayatan.




*Penulis lagi belajar bikin cerpen sudut pandang orang ketiga. Mohon kritikan dan sarannya ya. :)
Read More

Sabtu, 18 April 2015

Monster Tepi Kali

Sore itu sedikit mendung. Seperti biasa sepulang les aku pergi memancing. Satu kail, dan segelas cacing segar. Cacing yang aku dapatkan di pekarangan rumah. Hanya itu yang aku bawa. Aku tidak membawa ember atau plastik untuk menampung hasil tangkapanku. Aku pun tidak berani lama-lama berada di sungai. Baru 5 menit aku melempar umpan ke sungai, sudah ada sesuatu yang menyambar umpanku. Segera aku tarik senar pancingku. Aah.. Ternyata hanya sebuah kantong keresek yang berisi lumpur. Tapi aku sudah tidak terkejut lagi. Kejadian itu sepertinya hal yang sudah biasa terjadi. Aku kembali duduk. Berharap ada ikan lapar yang memakan umpanku. Walaupun aku tahu, sepertinya yang kulakukan itu sia-sia.

Sekitar satu jam aku berada di tepi sungai. Badanku mulai merinding. Makhluk hitam , buas , penghisap darah manusia mulai mengepungku. Nguuuungg.... Ngiiiingggg.... Aku melakukan perlawanan, dan mereka berlari terbirit-birit. Trttt.. Tttt... Trtttt...Suara itu terdengar lagi. Tapi ini berbeda. Sepertinya suara monster yang lebih ganas dari yang tadi. Suara itu semakin jelas. Terdengar semakin keras di telingaku. Tiba-tiba munculah sesosok makhluk tinggi besar seukuran manusia. Menggendong benda berbentuk balok di punggungnya. Tangannya panjang. Berbentuk runcing dan kadang mengeluarkan percikan bunga api. Tangannya dimasukan ke air sungai. Tiba-tiba ikan pun bergelimpangan. Inikah yang disebut Monster Tepi Kali ?


Read More

Sabtu, 04 April 2015

Obsesi tingkat tinggi

Khayalanku bersemi di taman hati, yang slalu penuh dengan obsesi. Tersenyum iri menyambut rasa dalam hati dan bintang berkicau melantunkan senandung keinginan pada sesuatu hal. Ditunjukan dengan gairah yang sangat besar, fantasi yang sangat liar, keganasan dan bahkan kegilaan. Ketika obsesi itu adalah lawan jenis, ada kekacauan antara obsesi dan cinta. Perseteruan tak kunjung henti, kegelapan pun datang menghampiri.

obsesi-tingkat-tinggi.jpg

Mengenali kamu lebih dekat mungkin mustahil. Kau berasal dari kalangan elit, hapenya aja iphone. Aku gak bisa berpura-pura bahwa aku sedang baik² aja. Mention kamu aja dikacangin. Apalagi ngobrol bareng, kayaknya itu semua hanya impian belaka. :oops:

Hampir setiap mata ini memandang, terkadang kamu lewat di hadapanku, entah sengaja atau ga sengaja. Yang jelas kamu slalu ada pesona tersendiri di mataku. Namun, gimana mungkin aku dapat memahat rasaku di hatimu sedangkan kau keras bagai batu, dingin bagai salju, dan jutek bagaikan orang yang tidak saling kenal. Ough! :frown:

Salahkah aku, bila aku mengagumimu dlm diam ? Tanpa sepengetahuan kamu ? Hmm.. Lagi² rasaku ini tertinggal. Menunggu sebuah Kesedihan itu datang. Kesedihan itu menghasilkan kesendirian. Dan akhirnya kesendirian melahirkan fantasi yg bermain di ruang imajinasi. :-x

Mungkin hanya lewat mimpi aku bisa ngobrol denganmu, bercengkrama layaknya sebuah teman. Aku bisa leluasa membuat imajinasi di dalam mimpi. Ketertarikan ku mulai dibangun. Dengan terciptanya mimpi, aku disini masih mempunyai harapan. Yaa paling tidak harapan itu tak pernah hilang di dalam mimpi. Karena rasa penasaran itu akan slalu ada.

Read More