Selasa, 11 Juni 2019

Borobudur – Sebuah Perjalanan yang Menghangatkan Jarak

Selamat malam sobat blogger di mana pun kalian berada. Kali ini saya ingin bercerita tentang perjalanan yang baru saja saya lakukan bersama keluarga dan nenek ke salah satu situs bersejarah paling terkenal di Indonesia yaitu Candi Borobudur. Selama 19 tahun hidup, ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki langsung ke candi Buddha terbesar di dunia tersebut. Pengalaman ini menyisakan kesan yang sangat sulit untuk dilupakan.

Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 5 pagi. Niatnya, kami ingin tiba di lokasi sebelum matahari terlalu tinggi. Jarak yang kami tempuh kurang lebih 76 kilometer dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Kami berangkat ditemani dengan om dan tante yang memang sudah tau rute menuju ke sana. Perjalanan dilakukan menggunakan kendaraan pribadi, bukan karena ingin bergaya, tetapi agar kami dapat mengatur ritme dan berhenti jika diperlukan. Dalam keluarga kami yang cukup teratur, rencana perjalanan seperti ini dipersiapkan matang, dan tidak ada ruang untuk improvisasi sembarangan.

Pemandangan selama perjalanan terasa menenangkan. Sawah hijau terbentang di sisi jalan, kabut pagi masih menggantung, dan pegunungan di kejauhan seperti menyambut dengan tenang. Cuaca cerah nampaknya sangat mendukung kami. Saya menikmati momen itu dengan diam. Di tengah keteraturan dan gaya komunikasi keluarga kami yang cenderung to the point, keheningan kadang menjadi bentuk kedekatan yang paling jujur. Di dalam mobil, ada banyak percakapan terjadi, om saya fokus menyetir, ibu mendominasi percakapan dengan om dan tante menggunakan bahasa jawa karena ini kampung ibu saya, beda lagi sama nenek yang beberapa kali mengingatkan hal-hal kecil, bapak hanya menyimak saja dan kami anak-anak ibu tampak sibuk dengan pikiran masing-masing sesekali melihat suasana. Yaa semuanya berjalan dengan normal.

Oh iyaa perjalanan liburan kali ini menjadi lebih istimewa karena nenek ikut bersama kami. Usianya tidak lagi muda, namun semangatnya justru mengungguli anggota keluarga lainnya. Dalam keluarga kami, ada nilai-nilai kedisiplinan yang cukup kuat. Termasuk soal menjaga kesehatan. Nenek adalah contoh dari konsistensi itu. Beliau tidak banyak bicara soal kebugaran, tapi tubuhnya berbicara sendiri, kuat dan tidak merepotkan. Melihatnya duduk tenang di kursi mobil, menatap keluar dengan tenang, saya merasa perjalanan ini akan menjadi kenangan penting.


Setibanya di kawasan Candi Borobudur sekitar pukul 07.30 pagi, suasana sudah cukup ramai. Wisatawan dari berbagai daerah dan bahkan dari luar negeri terlihat sibuk mengabadikan momen. Kami segera membeli tiket dan masuk ke area candi. Dari titik pertama masuk, pemandangan yang tampak sungguh menakjubkan. Rumput yang rapi, tanaman berbunga di sepanjang jalan, dan Candi Borobudur yang menjulang kokoh di kejauhan, seolah menyambut setiap langkah kami. Di dalam hati, saya sempat bertanya, “Inikah situs budaya yang selama ini hanya saya lihat lewat buku pelajaran sejarah?”

Kami mulai melangkah menuju candi utama. Anak tangga demi anak tangga kami taklukkan perlahan. Di sinilah saya kembali menyadari betapa nenek adalah sosok yang luar biasa. Sementara bapak dan ibu mulai terlihat kelelahan, ibu bahkan sempat beberapa kali berhenti untuk menarik napas dan tidak ikut naik ke atas. Nah yang mencengangkan adalah nenek justru melangkah stabil dan tenang. Tidak banyak komentar keluar dari mulutnya, tapi sorot matanya memperlihatkan bahwa beliau sangat menikmati waktu setiap detiknya. Kami tahu bahwa dalam keluarganya dulu, nenek jarang punya kesempatan seperti ini. Maka saat ini adalah sesuatu yang amat beliau syukuri.



Selama hampir dua jam kami menjelajahi tiga tingkat utama Candi Borobudur. Setiap level menyajikan keindahan yang khas. Relief-relief dengan pahatan detail, patung-patung Buddha yang kokoh, serta lorong-lorong batu yang terasa menyimpan bisikan masa silam. Saya berjalan perlahan, mencoba menyerap sebanyak mungkin. Tidak hanya sebagai pengunjung, tetapi sebagai seseorang yang ingin lebih mengenal warisan bangsanya. Saya memegang batu dinding candi sesekali, membayangkan tangan-tangan masa lalu yang membangunnya dengan dedikasi luar biasa.

Kami sempat mengambil beberapa foto keluarga. Ada yang formal, ada yang konyol. Kami tertawa kecil saat meninjau hasilnya. Bukan karena lucu semata, tapi karena momen seperti ini jarang kami alami. Dalam suasana keluarga yang cenderung serius dan terukur, kebersamaan yang muncul secara spontan seperti ini terasa sangatlah menyentuh. Ingatan ini akan bertahan lama di memori inti kami. Tak bisa digambarkan lagi dengan kata-kata selain hari yang indah. 


Setelah merasa cukup, kami memutuskan untuk meninggalkan kompleks candi dan mencari tempat makan siang. Sesuai arahan bapak, kami tidak makan di sekitar area wisata karena khawatir harganya tidak masuk akal. Kami melanjutkan perjalanan keluar sekitar tiga puluh menit hingga akhirnya menemukan sebuah restoran sederhana bernama "Spesial Sambal" atau yang biasa disebut SS. Tempat ini cukup dikenal karena ragam sambalnya yang unik. Kami memesan beberapa menu khas Nusantara—ayam goreng, udang, ikan-ikanan, tahu tempe, terong, dan tentu saja sambal yang pedasnya tidak main-main.

Makan siang itu terasa sangat menyenangkan. Kami makan tanpa banyak obrolan, namun suasana tenang dan kenyang membuat hati terasa penuh. Di sela makan, bapak sempat berkomentar bahwa ini adalah makan siang yang layak setelah perjalanan menanjak tadi. Kami tertawa pelan. Momen itu mungkin terlihat sepele, tapi bagi kami, itu semacam pengakuan diam-diam bahwa perjalanan ini berarti.

Setelah selesai makan, kami pun kembali ke mobil dan memulai perjalanan pulang. Di dalam mobil, suasana lebih tenang. Beberapa tertidur, nenek duduk sambil menghayati perjalanan, dan saya hanya menatap keluar jendela, membiarkan bayang-bayang kenangan yang baru saja tercipta tadi mengendap perlahan.

Perjalanan ke Borobudur ini mungkin bukan sesuatu yang luar biasa dalam ukuran umum, mungkin orang lain sudah biasa ke sana bahkan ada yang sudah berkali-kali. Tapi bagi keluarga kami yang jarang melakukan perjalanan bersama, ini menjadi semacam simpul baru. Tidak mengubah dinamika keluarga secara drastis, tapi cukup untuk memberi ruang pada rasa yang kadang terlalu lama disimpan dalam diam. Buat saya pribadi, ini adalah perjalanan kecil yang menyisakan banyak rasa. Saya merasa lebih dekat dengan keluarga saya, lebih mengenal sejarah negeri, dan lebih menghargai momen sederhana yang kadang sering terlewat begitu saja.

Saya belajar sesuatu dari perjalanan ini bahwa dalam kebersamaan yang tenang dan terukur, cinta tetap tumbuh dan terjaga. Tidak selalu lewat pelukan atau kata-kata manis, tapi lewat langkah-langkah kecil yang kami tempuh bersama, lewat perhatian yang tidak diucapkan, dan lewat kehadiran yang konsisten. Kami tidak mengucapkan janji untuk kembali. Tapi dalam hati saya, saya tahu bahwa jika kesempatan itu datang, kami akan melakukannya lagi. Dan mungkin kali itu, kami akan memaksimalkan waktu bersama, lebih menikmati, lebih mengenal satu sama lain, dalam suasana yang penuh makna.










100619

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan komentar, bebas asal sopan dan relevan.