Kamis, 13 Juni 2019

Arus balik naik Kereta Lodaya — Singgah ke Kampung Nenek

Pagi itu udara masih segar. Embun belum sepenuhnya mengering dari daun-daun di halaman rumah Mbah di Klaten, tempat kami menghabiskan libur Lebaran beberapa hari terakhir. Suasana masih syahdu, dengan sisa-sisa keramaian Lebaran yang mulai mereda. Suara takbir memang sudah mulai surut hilang, tapi aroma kenangan yang sudah tercipta beberapa hari terakhir masih terasa kuat dari seluruh penjuru rumah. Hari ini, saya, keluarga, dan nenek harus bersiap-siap kembali ke kota.

Namun kali ini, perjalanan pulang kami berbeda. Tidak langsung menuju Bekasi seperti biasanya. Ada satu misi tambahan yang telah kami sepakati sebelumnya yaitu mampir ke kampung halaman nenek di Ciamis. Sebuah kota kecil di Priangan Timur, tempat kenangan masa muda dan leluhur dari pihak bapak berasal. Sekalian bersilaturahmi dengan keluarga yang tinggal di sana.

Kami memutuskan untuk menggunakan moda transportasi yang sama ketika kami berangkat mudik ke sini yaitu kereta api. Tapi kali ini beda tipe jurusannya. Kami menggunakan kereta api Lodaya, kelas eksekutif, dari Stasiun Klaten menuju stasiun Tasikmalaya. Ini adalah pengalaman pertama kami semua naik Lodaya dari jalur selatan. Harga tiketnya cukup lumayan, sekitar Rp 540 ribu per orang, tapi rasanya sepadan untuk pengalaman yang belum pernah kami coba sebelumnya.

Kami tiba di Stasiun Klaten sekitar satu jam sebelum keberangkatan. Stasiun tidak terlalu ramai, tapi tetap terasa hangat. Suara khas pengumuman kereta yang menggema dari pengeras suara tua di atas loket sudah terdengar. Sebelum masuk kami berfoto-foto dulu mencetak kenangan. Setelah itu kami berpamitan dengan keluarga mbah yang telah mengantar. Susana haru terasa semakin kuat. Setelah itu kami semua masuk stasiun dan menunggu kereta lodaya datang. Kami duduk di bangku panjang, saya sesekali memperhatikan penumpang lain dengan koper dan ransel besar. Ada yang terlihat lelah, ada yang semangat, ada juga yang seperti kami, keluarga yang sedang menikmati momen perjalanan arus balik lebaran.

Begitu kereta Lodaya datang, saya langsung terpukau. Keretanya terlihat elegan dan gagah. Saat pengumuman bahwa kereta sudah bisa dinaiki, hawa sejuk dari dalam menyapa wajah kami. Kami naik ke gerbong yang sudah tertera di tiket yaitu gerbong 3. Begitu masuk, wangi pendingin udara, karpet bersih, dan suara lembut musik instrumental menyambut kami. Kursi empuk berwarna biru dongker dengan meja kecil di depannya membuat kami langsung merasa nyaman.


Saya memilih tempat duduk di dekat jendela. Saya langsung menempelkan dahi ke kaca, berharap bisa melihat pemandangan sepanjang perjalanan dengan lebih jelas. Di sebelah saya duduk abang saya, sementara bapak dan nenek di seberang. Ibu dan adik saya di depan. Saya lihat Nenek tampak senang. Usianya yang sudah tidak muda tak mengurangi semangatnya untuk berpetualang.

Perjalanan kami berlangsung kurang lebih selama lima jam. Di luar jendela, pemandangan silih berganti, mulai dari persawahan luas, perbukitan hijau, jembatan, dan desa-desa kecil yang tampak sunyi. Saya juga sempat berjalan ke kantin mini di gerbong 4. Menu di kantin ini sederhana aja gak terlalu menarik kayak mi instan, kopi, roti, dan nasi goreng kemasan. Saya memesan teh manis panas. Rasanya sih biasa saja, tapi entah kenapa, ada kepuasan yang muncul saat menyeruputnya sambil duduk kembali di bangku dan melihat sawah berlarian di luar sana.




Momen yang paling berkesan saat perjalanan naik kereta api Lodaya ini adalah ketika kami melewati jembatan Cirahong. Kami melihat dan merasakan langsung dari dalam kereta jembatan tua bersejarah yang menghubungkan jalur rel di atas Sungai Citanduy yang lebar. Saat kereta melintasinya, terasa sedikit getaran yang menambah pengalaman berharga kami. Saya menahan napas sejenak. Pemandangan dari jendela menampakkan air sungai yang mengalir tenang di bawah, sementara sisi jembatan tampak berkarat tapi kokoh. Saya membayangkan bagaimana jembatan ini dulu dibangun dan sudah berapa banyak kisah yang telah lewat di atasnya. Wow. Sungguh membekas memori ini. Sayangnya saya lupa foto-foto suasana di jembatan tersebut, saya hanya fokus mengamati keindahannya. 

Setibanya di Stasiun Tasikmalaya, udara terasa lebih sejuk. Kami turun perlahan, mengangkat koper dan tas besar. Tidak lama menunggu, Taksi online yang sudah kami pesan sudah parkir di luar. Perjalanan ke rumah nenek di Ciamis masih butuh sekitar 1 jam lagi. Jalanan agak lengang saat itu, jadi kami bisa duduk santai sambil mendengarkan lagu-lagu lawas dari radio mobil. Sepanjang perjalanan, nenek mengenang masa mudanya. Dulu, katanya, pulang kampung bisa memakan waktu hampir sehari penuh. Jalanan rusak, mobil terbatas, belum ada tol. Kadang sampai harus menginap di perjalanan. Sekarang sudah serba enak dan mudah. Nenek sangat bersyukur bisa merasakan perubahan dan perkembangan daerah.

Setelah tiba di rumah nenek, kami disambut oleh keluarga besar yang tinggal di sana. Pelukan, senyuman, dan ucapan "kapan terakhir ke sini?" "pangling euy" langsung mengisi ruang tamu. Rasanya seperti pulang ke rumah kedua. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi terasa hangat. Ada aroma khas rumah nenek dan tanah ciamis yang khas, seperti rumah-rumah jaman dulu.

Siang itu kami makan bersama. Menu sederhana: nasi putih, ayam goreng, lalapan, sambal terasi, dan kerupuk. Tapi suasananya luar biasa. Suara anak-anak kecil bermain di halaman, suara sendok bertemu piring, dan obrolan yang berlapis-lapis. Setelah makan, kami menyempatkan diri jalan kaki ke makam kakek. Beliau telah berpulang sekitar empat tahun sebelumnya. Di sana, kami membaca doa bersama. Tak banyak bicara, tapi dalam diam itu ada perasaan kehilangan, rindu, dan syukur yang bersamaan.

Sore harinya, kami mampir ke rumah beberapa kerabat di sekitar. Ada yang sudah lama tak bertemu, ada pula yang bahkan saya sendiri hampir lupa namanya. Tapi semuanya menyambut dengan senyum, dan percakapan pun mengalir tanpa canggung. Seolah waktu berhenti sebentar untuk memberi ruang pada keakraban lama.

Menjelang malam, kami kembali ke rumah nenek dan duduk di teras. Angin kampung bertiup pelan. Lampu-lampu rumah tetangga mulai menyala. Kami makan malam dengan menu sisa siang tadi, tapi tetap terasa nikmat. Setelahnya, kami berfoto-foto bersama. Di halaman rumah, di bawah pohon besar yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Saya memandangi wajah nenek, yang tampak lebih damai malam itu. Barangkali ini momen yang sudah lama beliau rindukan.

Keesokan harinya, pagi-pagi benar kami sudah harus bersiap pulang. Kali ini naik mobil elf yang disewa dari agen perjalanan lokal. Sopir datang tepat waktu. Kami mengemas barang-barang, pamit pada sanak saudara, dan mengantar nenek masuk ke mobil dengan hati-hati.

Perjalanan menuju Bekasi memakan waktu hampir 10 jam. Jalanan padat, banyak titik macet. Tapi entah kenapa, saya tidak terlalu gelisah. Mungkin karena hati saya sedang penuh. Penuh cerita, penuh rasa syukur, penuh kenangan yang baru saja diukir dalam dua hari perjalanan singkat ini. Saya menyandarkan kepala ke jendela, melihat pepohonan berlarian mundur, dan diam-diam tersenyum.

Menjelang sore, alhamdulillah kami tiba di rumah. Lelah, tentu saja. Tapi juga lega. Semua sehat, semua selamat. Dari semua perjalanan yang telah kami lalui yang tersisa adalah cerita tentang kereta Lodaya, Ciamis, rumah tua, silaturahmi, makam kakek, dan foto-foto bersama. Sungguh perjalanan yang luar biasa dan penuh makna. Saya tak akan keberatan jika suatu saat di masa depan harus mengulanginya lagi. Karena perjalanan ini memberikan banyak makna untuk saya. Sebuah momen kebersamaan yang amat sangat langka untuk diciptakan. Saya sebut ini menjadi mudik yang paling berkesan selama saya hidup. Pengalaman yang luar biasa. 

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan komentar, bebas asal sopan dan relevan.