Alhamdulillah sangat terasa sekali di bulan puasa yang istimewa ini, Allah SWT mendidikku untuk selalu introspeksi diri bahwa aku sebagai hamba-Nya yang lemah dan tidak punya kekuatan apa pun di hadapan-Nya. Bagiku, momen bulan puasa seperti saat ini dapat menyatukan sementara dua sisi sifat alami manusia yaitu sisi terang dan sisi gelap. Kalau sisi terang kebanyakan orang sudah pada tahu ya apa saja yang termasuk di dalamnya. Tapi kalau kita membahas tentang sisi gelap seorang manusia pasti masih banyak yang belum bisa mengakuinya. Karena di dalamnya terdapat banyak hal-hal yang bisa dikatakan nikmat, walaupun bikin sengsara. Singkatnya, yang aku maksud sisi gelap itu ialah hawa nafsu.
Sebenarnya aku sudah mengetahui bahwa kegelapan itulah yang selalu mendekatiku. Mereka bersembunyi di tempat yang sudah diincar sebelumnya. Mereka memanggil-manggil namaku. Sering sekali terlintas suara halus beserta pikiran-pikiran yang kurang bersahabat. Aku merasakan adanya musuh sejati. Musuh yang sudah mengintaiku sejak lama. Bahkan ketika aku masih naif. Dan ternyata.... Musuh itu adalah diriku sendiri. Semakin aku besar, musuh pun akan membesar juga. Itu semua telah terwujud dan terjadi. Aku tak bisa mengelak. Aku harus menghadapinya.

Dalam Islam, manusia selalu diajarkan bahwa musuh sejatinya adalah setan dan hawa nafsu. Tapi setan hanya membisikkan. Nafsulah yang memutuskan apakah sisi gelap akan terjadi atau tidak. Dan aku sadar, aku terlalu sering memilih tunduk pada bisikan itu. Bukan karena tidak tahu, tapi karena aku terlalu lemah imannya. Berulang kali aku meminta petunjuk dalam doa, tapi saat petunjuk itu datang dalam bentuk ujian, aku seakan menolaknya. Aku mengeluh, menyalahkan takdir, bahkan mempertanyakan keadilan-Nya. Padahal hatiku tahu, semua ini adalah cermin dari kelalaian yang sudah lama kubiarkan tumbuh dalam diriku sendiri.
Pernah satu malam aku termenung lama, duduk dalam gelap tanpa lampu, hanya cahaya remang dari luar jendela yang menyusup ke dalam kamar. Tak ada suara. Hanya aku dan pikiranku sendiri. Lalu di situ aku merasa sepi yang mencekam bukan berasal dari luar, tapi dari dalam. Dari hatiku yang terlalu lama kosong, tak lagi diisi dengan dzikir, tak lagi rindu pada ayat suci, tak lagi menangis dalam sujud. Aku merasa takut. Takut kalau aku terus seperti ini, aku akan hilang perlahan-lahan. Hilang dari fitrahku sebagai manusia. Hilang dari cahaya yang pernah membimbingku di masa lalu. Dan satu hal yang paling kutakutkan aku terbiasa hidup jauh dari Allah, dan merasa itu hal biasa.

Aku dulu berpikir musuh itu adalah orang-orang yang menyakiti kita. Orang yang mengkhianati kepercayaan, meninggalkan saat dibutuhkan, atau membicarakan keburukan di belakang. Tapi makin ke sini, aku makin sadar ternyata musuh terbesarku selama ini adalah diriku sendiri. Aku yang suka menunda-nunda, padahal tahu waktu tak pernah kembali. Aku yang terlalu sering mencari pembenaran, tapi malas mencari kebenaran. Aku yang tahu salah, tapi tetap mengulanginya. Aku yang sadar sedang jauh dari Tuhan, tapi tak segera mendekat.
Musuh sejati itu bukan mereka di luar sana. Tapi bisikan kecil dalam hati yang berkata "nanti saja," "nggak apa-apa," "cuma sekali ini." Padahal dari kata-kata "cuma sekali" itu, lahirlah puluhan kesalahan lain. Sering kali aku bangun tengah malam, merasa gelisah tanpa sebab. Dada terasa sesak, kepala berat, dan hati seperti memanggil-manggil sesuatu yang tak terlihat. Lama-lama aku paham. itu panggilan dari nurani yang lelah dikhianati.
Musuh sejati itu bukan dia yang membenciku, bukan juga mereka yang menjauh. Musuh sejati adalah ketika aku membiarkan jiwaku mati pelan-pelan, tanpa usaha untuk kembali pada yang menciptakan. Aku sudah terlalu lama menyalahkan keadaan, orang tua, masa lalu, bahkan takdir. Padahal mungkin yang membuat hidupku berantakan bukanlah mereka, tapi aku yang tak mau berubah. Dan satu hal yang paling menyakitkan dari melawan diri sendiri adalah aku tak bisa lari. Di mana pun aku pergi, diriku akan tetap ikut. Kalau aku tak membereskan yang rusak di dalam, aku hanya akan membawa kerusakan itu ke mana pun aku melangkah.
Sekarang aku ingin duduk sejenak. Menatap diriku sendiri, jujur tanpa topeng. Bukan untuk menyalahkan lagi, tapi untuk memaafkan. Karena mungkin jalan menuju kebaikan tak dimulai dari lari cepat, tapi dari keberanian untuk mengakui bahwa "Aku sendiri yang sering menjatuhkan diriku." Mulai dari sanalah, langkah kecil bisa digerakkan. Bukan untuk menang melawan dunia, tapi untuk damai dengan musuh yang selama ini tinggal paling dekat denganku, yaitu diriku sendiri.