Rabu, 20 Februari 2019

Beban Dunia

Aku menulis ini ketika mulutku tak mampu lagi berkata.



Tadi siang aku merasakan sesak dan terlilit dalam kesedihan yang amat sangat kuat. Aku yang dulu selalu mudah mengabaikan rasa sedih, kini emosiku gampang berubah-ubah seperti panas di musim hujan. Aku berharap semua kesedihan itu akan menghilang, tapi nyatanya tidak. Semua rasa itu justru terus hidup dalam diriku, pasang surut, membatasi rasaku. Hingga suatu saat, batasan itu jebol. Air mataku tumpah-ruah bersama rasa sakit!

Aku pun menangis...
Dan terus menangis..

Ini pertama kalinya aku meneteskan air mata dalam jumlah yang banyak di rumah. Setelah sekian lama tidak kurasakan —sejak yang terakhir kali mungkin di waktu SD. Disaksikan secara langsung oleh orang tua. Aku benar-benar tak bisa membendung perasaan teriris ini lebih lama lagi. Aku keluarkan semua emosi terpendamku bersama dengan derasnya air mata. Aku merasa sudah tak sanggup lagi menjalani hari-hari baru yang semakin hari semakin menantang. Aku masih terlalu takut. Aku tak tahu bagaimana ketakutan ini dapat berkembang semakin besar, hingga terkadang aku tak mampu lagi melihat ke depan. Ketidakmampuanku ini telah kusadari seperti saat dimana aku yang tak mampu memberikan hasil terbaik kepada orang-orang yang mengandalkanku. Semaksimal apa pun diriku berusaha, pasti selalu saja ada hal yang luput dari pengamatanku.

Aku yang tak mampu memanggil seseorang untuk kepentingan banyak orang. Aku yang sulit memposisikan diri di dalam masyarakat. Aku sering dipandang sebelah mata, karena memilih untuk diam daripada bergaul dengan banyak orang. Aku sering disalahartikan sebagai orang yang tidak sopan. Sungguh, ini sangat menyedihkan. Ketika sifatku menjadi masalah, ketika orang-orang memaksaku untuk berubah seperti tuntutan mereka. Mereka memaksaku menjadi orang lain dan harus membahagiakan mereka. Hal-hal tersebut selalu menyayat hatiku.

Ditambah lagi dengan adanya 'teman' yang mulai meragukan kemampuanku untuk mengikuti ulang ujian masuk perguruan tinggi tahun ini. Mereka berdalih dengan argumen yang sangat menyakitkan yaitu aku dikira menyia-nyiakan waktu dengan melakukan Gap Year. Sayang lho.. Nanti waktunya keburu abis.. Empat tahun kemudian yang lain udah jadi apa aja, lu masih sibuk kuliah.. katanya. Sangat merendahkan sekali. Padahal aku sedang berjuang mati-matian belajar sambil membantu orang tua. Dia dengan seenaknya berkata seperti itu. Aku nggak abis pikir, kenapa manusia mudah sekali menilai bahkan mengeluarkan kata-kata yang melukai hati orang lain, sedangkan mereka tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin niatnya baik yaitu memberikan kepedulian terhadap sesama teman, menurutnya itulah cara terbaik untuk mendorongku agar dapat berkembang. Namun kenyataannya, kita kan nggak akan tau seberapa dalam penderitaan, jatuh-bangun, dan perjuangan yang dialami orang lain, bukan? Lantas kenapa harus seperti itu caranya? Lebih baik tak ada yang peduli daripada hanya terus menjatuhkan.

Beban-beban seperti itulah yang membuat aku menjadi tak semangat dalam menjalani rutinitas kehidupan. Aku terus bertahan di dalam keadaan ini. Namun aku selalu merasakan lelah yang luar biasa. Aku pun bertanya-tanya mengapa segalanya terasa begitu berat?. Semua hal yang aku jalani begitu berat untuk dihadapi. Tantangan ini layaknya dunia yang sangat berat bagiku untuk dibawa, rasanya seperti melebihi batas kemampuanku untuk memikul. Aku bukanlah seorang presiden, tapi kenapa banyak sekali persoalan hidup dan tanggung jawab yang membebaniku.


Aku masih terluka, tapi bukan berarti ingin menghilang dari alam begitu aja. Aku hanya ingin penderitaan ini cepat berlalu dan merasakan nikmat hidup sepenuhnya. Sering rasanya, lebih baik berlari dari kenyataan pahit, daripada menjalani hari dengan kekosongan yang menjadi-jadi. Andaikan saja aku bisa melepaskan semua beban ini, mungkin aku akan bebas. Tak ada yang perlu kupertaruhkan. Rasanya begitu terpojok, kosong dan sepi. Kalau semangat hidupku menghilang, entah apa yang akan terjadi kemudian. Kupikir dulu aku menemukan sebuah kebenaran, tapi ternyata kebenaran yang keliru.

Setelah selesai menangis, aku rebahan dan tak melakukan apa pun. Pikiranku seperti kabut asap kebakaran hutan yang baru saja diturunkan hujan deras. Begitu sejuk dan tenang. Semua pikiran-pikiran panas yang selama ini bersarang langsung padam seketika. Sesak di tubuh perlahan-lahan mulai hilang. Ada semacam kedamaian dalam diriku, walau hanya sesaat. Aku kembali menyakinkan diriku bahwa aku benar-benar sudah dekat dengan suatu kebenaran. Aku akan mencoba setiap kemungkinan perubahan, apa pun bayarannya di hidupku. Karena aku sudah bosan, aku ingin hidup yang baru.




Aku tahu kau ingin menghilang di tengah keramaian dunia ini wahai diriku, tapi tetaplah bertahan.. Semoga kemenangan menantimu di depan. Aku yakin kita bisa bangkit dan bersinar.


0 comments:

Posting Komentar

Silahkan komentar, bebas asal sopan dan relevan.